Makalah Hadas Dan Najis-Fauzy

        BAB I
        PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Islam sangat memperhatikan supaya penganutnya senantiasa bersih dalam dua sisi yaitu bersih secara dhahiriyah maupun rohaniahnya. Karena membasuh anggota lahir yang terbuka dan bisa terkena debu, tanah dan kuman setiap hari serta membasuh badan dan mandi tiap kali berjunub, akan menyebapkan badan menjadi bersih dari kotoran. Di samping itu, kualitas pahala ibadah juga dipermasalahkan  jika kebersihan dan kesucian diri seseorang dari hadats maupun najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis maupun hadats merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur’an, naik haji, dan lain sebagainya.
Adapun para ulama pada masa ini juga sibuk dengan menyebarkan ajaran mazhab dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha tertentu. Bahkan sampai kepada tingkat di mana seseorang tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya, seakan keberadaan semuanya ada pada sang guru. Inilah bentuk pemikiran yang tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan , yang kemudian menutup mata mereka dari Ijtihad

B.            Rumusan Masalah
1.             Bagaimana Pengertian Hadas besar dan kecil serta cara mensucikannya?
2.             Bagaimana dasar  hukum yang digunakan imam  mazhab terhadap  Najis dan Hadas?
3.             Bagaimana perbedaan  tata cara wudhu’  dalam  Imam  Mazhab?
4.             Bagaimana perbedaan pendapat imam mazhab tentang bersuci dari Hadas dan Najis?
5.             Bagaimana larangan berfanatik tehadap Imam Mazhab?






BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Hadas dan  Najis  Serta Cara Mensucikannya

1.             Pengertian  Hadas
Hadas yaitu keadaan  diri pada seseorang muslim yang menyebabkan  ia tidak suci, dan tidak sah untuk  mengerjakan sholat. Hadas digolongkan menjadi 2  bagian , yaitu hadas  kecil dan hadas besar. Hadas Besar ialah keadaan seseorang tidak suci dan supaya ia menjadi suci maka ia harus mandi atau jika tidak ada air (berhalangan) dengan tayammum.  Hadas Kecil ialah keadaan seseorang tidak suci, dan supaya ia menjadi suci maka ia harus wudhu atau jika tidak ada air (halangan) dengan tayammum.
Macam-macam  hadas  kecil diantaranya yaitu Mengeluarkan sesuatu dari Qubul dan Dubur Tidur nyenyak, dengan miring ataupun  telentang  (hilang akal) Menyentuh kemaluan dan sebagainya. Sedangkan Macam-macam hadas besar diantaranya,  bersetubuh, keluar mani, haid dan nifas. Sedangkan  cara bersuci dari hadas kecil  dengan berwudhu dan cara menghilngkan hadas besar dengan mandi wajib.[1]
2.             Pengertian Najis
Menurut bahasa Najis berarti kotor, tidak bersih atau  tidak suci. Sedangkan menurut istilah  adalah  kotoran yang  seseorang muslim  wajib membersihkan  diri dan mencuci apa-apa yang terkena najis. Adapun yang terrmasuk   benda najis  diantaranya, darah haid, nifas, air kencing  dan madzi, kotoran, istinja, air liur anjing dan sebagainya. Dari beberapa benda najis yang tersebutkan  bahwa  cara membersihkan segala sesuatu  najis yang terkena  badan dan   pakaian  dan tempat, hendaknya disesuaikan dengan tingkat najisnya.. adapun  tingkat najis  tersebut.
a.    Najis ringan  (Mukhafaffah)  yaitu najis yang cara mensucikannya cukup memercikkan  kepada temapt atau benda yang mengenainya. Contohnya, najis kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun, yang belum  memakan apapun kecuali asi  ibunya.
b.    Najis sedang  (mutawassithah), yaitu  najis yang  cara mensucikannya, membersihkan najis itu terlebih dahulu kemudian baru mengalirkan air ketempat  yang terkena najis.
c.    Najis berat (Mughaaladzah) yang najis cara mensucikannya, harus di bersuhkan dengan air sebanyak 7 kali salah satunya dicamour dengan tanah.Contohnya, seperti  terkena air liur anjing.
Dari pengertian hadas dan  najis di atas dapat di pahami  bahwa  banyak macam-macam najis yang belum tersebut.  Akan tetapi pada dasarnya hadas adalah bagian  dari najis tetapi tidak tampak melainkan hanya terdapat di dalam diri manusia.  Karena pada dasarnya najis terbagi 2 yaitu najis yang bersifat Haqiqi yaitu najis-najis yang  nampak dan di hukumkan untuk mensucikannya dengan cara-cara yang telah tersebut di atas. Kemudian najis yang bersifat  hukmi yaitu najis yang dihukumkan dalam hadas, baik itu hadas kecil dan hadas besar.[2]
B.            Dasar  Hukum Yang Digunakan Imam  Mazhab Terhadap  Najis
Hukum menghilangkan najis yang tidak di maafkan dari pakaian, badan, dan juga tempat shalat bagi orang yang hendak mengerjakan shalat  adalah wajib. Ini menurut pendapat jumhur Fuqaha kecuali ulama Mazhab Maliki, karena Allah SWT berfirman:
 وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ ٤
Artinya: ” Dan bersihkan pakaianmu” (Al-Muddatsir: 4)
Ada dua pendapat yang masyhur dalam mazhab Imam  Maliki berkenaan masalah ini, yaitu wajib dan sunnah. Jika orang berkenaaan dalam keadaan sadar mampu dan dapat mengghilangkan najis itu maka pendapat yang mu’tamad dan masyhur mengatakan bahwa hukumnya sunnah. Namun pendapat lain, hukum adalah wajib. Oleh sebab itu, siapa yang menunaikan shalat dala keadaan terkena najis dengan sengaja,sedangkan dia mampu menghilangkannya, maka dia wajib mengulangi shalatnya, karena shalatnya itu tidak sah. Tetapi kalau berdasarkan pendapat yang masyhur dari mazhab maliki, yang menyatakan hukum menghilangkan najis hanya sunnah saja, sekiranya dia sadar dan mampu menghilangkannya.
Maka, mengulangi shalat tersebut hanyalah sunnah. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka mengulangi shalat bagi orang yang terlupa, orang yang tidak mengetahui keberadaan  najis, dan orang yang tidak mampu menghilangkannya adalah sunnah.[3] Adapun  beberapa Najis menurut Ulama Mazhab antara lain:
a.              Khamr ( sesuatu  yang memabukkan)
Para imam  madzhab sepakat tentang najisnya khamr. Kecuali sebuah riwayat dari Abu Dawud adz-Zhahiriy yang mengatakan kesuciannya tetapi mengharamkannya untuk dikonsumsi. Mereka bersepakat apabila khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka hukumnya menjadi suci. Namun jika khamr berubah menjadi cuka karena dicampur dengan sesuatu, menurut Syafi’i, dan Hambali adalah tidak suci. Sebagaimana firman Allah SWT :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٩٠
Artinya:.
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan Q.S  ( AL-Maidah 90)
b.           Anjing dan Babi
Syafi’i  dan  Hambali  memberi pendapat bahwa anjing dan babi adalah najis. Sesuatu yang terjilat oleh anjing harus dibasuh tujuh kali. Menurut Hanafi Anjing adalah najis, tetapi bekas jilatannya boleh dicuci sebagaimana kita mencuci najis lainnya. Jika dibasuh sekali sudah diduga najisnya hilang, maka basuhannya sudah dicukupkan 1 kali tersebut. Namun apabila diduga belum  hilang  najisnya, maka harus dibasuh berkali,kali, meskipun 20 kali lebih. Sedangkan menurut madzhab Maliki, anjing adalah suci dan bekas jilatannya tidak najis .Babi disamakan dengan anjing kenajisannya,sehingga bekas jilatannya harus dibasuh sampai tujuh kali.
Hal ini menurut pendapat yang paling shahih dalam  madzhab Asy-Syafi’i. Imam Maliki berpendapat bahwa babi itu suci ketika masih hidup, karena tidak ada dalil yang menajiskannya. jikalau Imam Hanafi  najis babi harus dibasuh seperti najis-najis lainnya. Semua  hewan suci,  kecuali  anjing  dan  babi. Hal ini  berdasarkan Hadits  Rasulullah SAW yang artinya:
“ Cara mencuci  bejana  seseorang  dari kamu  apabila  dijilat  anjing hendaklah  dibasuh  tujuh kali,  salah  satunya  dicampur  dengan  tanah. ( Riwayat  Muslim)
c.            Air Kencing Bayi
Menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi mensucikan air kencing bayi laki-laki yang belum makan sesuatu apapun keciali ASI, ialah cukup dengan memercikkannya ketempat yang najis. Jika bayi perempuan maka harus dibasuh dan disiram. Maliki keduanya harus di hapus dan hukum keduanya sama. Hambali berpendapat bahwa air kencing perempuan yang masih bayi adalah suci. 
d.             Bangkai
Bangkai   binatang  darat  yang  berdarah  selain  dari  mayat  manusia. Adapun   bangkai  binatang  laut  seperti  ikan  dan  bangkai  binatang  darat  yang   yang tidak  berdarah ketika  masih  hidupnya  seperti  belalang  serta  mayat  manusia  semuanya  suci.  Adapun  bangkai  binatang  darat  yang   tidak  berdarah,  begitu  juga  bangkai  mayat  ,manusia ,  tidak  termasuk  dalam  arti bangkai  yang  umu m  dalam  ayat  tersebut  karena  ada  keterangan  lain.
Menurut  Mazhab Imam Syafi’I  Adapun Bangkai ikan dan  binatang darat  yang  tidak berdarah, begitu juga mayat manusia, tidak masuk dalam  katagori bangkai yang umum  dalam ayat tersebut.  Karena ada keterangan lain  bagian bangkai  seperti  daging , kulit,  tulang,  urat, bulu, dan  lemaknya  semua itu najis.
Menurut  Mazhab Imam  Hanafi Bagian yang bernajis hanyalah  bagian- bagian   yang  mengandung  Ruh  ( bagian yang  bernyawa saja) , seperti  daging  dan  kulit . Bagian   yang  tidak  bernyawa, seperti, kuku,  tulang,  tanduk  dan   bulu  semunaya  itu  suci.   Bagian  yang  tidak  bernyawa dari  anjing dan   babi  tidak  termasuk  Najis.  Firman  Allah Swt 
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ
Artinya:
 “ Diharamkan  bagimu  memakan  bangkai Q. S. (Al-Maidah :3)

e.              Benda yang Keluar dari perut
 Benda lunak yang keluar dari dubur adalah najis. Demkian yang diseakati oleh para ulama’. Namun ada riwayat dari Hanafi, bahwa itu adalah suci. Syafi’i berpendapat bahwa air kencing dan tahi adalah najis secara mutlak.Maliki dan Hambali, air kencing dan kotoran  binatang  yang dapat dimakan dagingnya adalah suci.
f.              Air Mani
Menurut Hanafi dan Maliki bahwa mani manusia adalah najis. Pendapat yang paling shahih dari Syafi’i Air mani itu suci secara mutlak, kecuali mani anjing dan babi. Sementara itu menurut Hambali mani yang suci hanya air mani manusia.
Imamiyyah dari kalangan Syi’ah menghubungkan mani itu najis, sedang nanah tidak najis. Kencing manusia najis. Sisa minuman burung yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan suci. Minuman yang memabuk- kan najis (yang cair). Muntah tidak najis. Mazi dan Wadi kedua-duanya tidak najis[4]
g.              Najis Yang Dimaafkan
Syafi’i mengatakan bahwa segala sesuatu yang najis, baik itu besar maupun kecil, hukumnya sama dalam mensucikannya. Tidak ada yang dimaafkan  kecuali sesuatu yang sulit dihindari menurut kebiasaan, seperti darah jerawat, darah bisul, darah  kudis, darah kutu, tahi lalat, tempat bercantuk, dan debu  jalan. Maliki juga berpendapat demikian, dengan menambahkan darah sedikit dimaafkan. Madzhab Hanafi, sesuatu najis yang ukurannya lebih kecil dari mata uang satu dirham dimaafkan




Hal-hal Bernajis
Hanafi
Maliki
Syafi’I
Hanbali
Khamr
Najis
Najis
Najis
Najis
Anjing dan Babi
Najis
Tidak Najis
Najis
Najis
Air Kening Bayi
Suci bayi Lk
Najis
Suci bayi Lk
Suci bayi Pr
Bangkai
Sisa Makanan Binatang
Kecuali anjing dan babi suci
Suci
Kecuali anjing dan babi suci
Kecuali anjing dan babi suci
Najis Yang Dimaafkan
Lebih kecil dri 1 dirham
Sama dalam mensucikan
Sama dalam mensucikan
Benda Yang Keluar Dari Perut
Suci
Binatang halal suci
Najis
Binatang halal suci
Air Mani
Najis
Najis
Suci
Suci[5]

D.           Perbedaan  Tata Cara Wudhu’  Dalam  Imam  Mazhab

a.             Air Mutlaq
Air mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis. Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan mandi janabah.
Diantara air-air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah: Air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air embun, air sumber, air es/salju. Dan yang menjadi perbedaan hukum diantara para imam madzhab adalah megenai Air Zam-zam.
1.              Mazhab Al-Hanafiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah.
 Mazhab Al-Hanafiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa air zamzam boleh digunakan untuk mengangkat hadats, yaitu berwudhu atau mandi janabah.

2.              Mazhab Al-Malikiyah. 
Mazhab Al-Malikiyah secara resmi tidak membedakan antara kebolehan air zamzam digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk membersihkan najis. Keduanya sah-sah saja tanpa ada karahah. Dalam pandangan mereka, air zamzam boleh digunakan untuk bersuci, baik untuk wudhu, mandi, istinja’ ataupun menghilangkan najis dan kotoran pada badan, pakaian dan benda-benda. Semua itu tidak mengurangi kehormatan air zam-zam.         
3.              Imam Ahmad bin Hanbal. 
Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau berpendapat adalah termasukkarahah (kurang disukai) bila kita menggunakan air zamzam untuk bersuci, baik untuk mengangkat hadats (wudhu atau mandi janabah), apalagi untuk membersihkan najis. Pendapat ini didukung dengan dalil atsar dari shahabat Nabi SAW yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu :
لاَ أُحِلُّهَا لِمُغْتَسِلٍ يَغْتَسِلُ فيِ المَسْجِدِ وَهِيَ لِشَارِبٍ أَوْ لمِتَُوَضِّىء حَلَّ وَ بَلَّ
Artinya:
“Aku tidak menghalalkannya buat orang yang mandi (janabah) di masjid, namun air zamzam itu buat orang yang minum atau buat orang yang wudhu'
a.             Air Musta’mal
Kata musta'mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu (استعمل - يستعمل) yang bermakna menggunakan. Maka air musta'mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah, yaitu berwudhu atau mandi janabah. Air sisa bekas cuci tangan, cuci muka, cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah, statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal, karena bukan digunakan untuk wudhu atau mandi janabah.
b.             Air Yang Tercampur Dengan Barang Yang Suci
Air tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya. Namun bila air telah keluar dari karakternya sebagai air mutlak atau murni, air itu hukumnya suci namun tidak mensucikan. Tentang kapur barus, ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memandikan mayat dengan menggunakannya.
“Dari Ummi Athiyyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizy, An-Nasai 1880 dan Ibnu Majah).
Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan, sehingga air kapus dan sidr itu hukumnya termasuk yang suci dan mensucikan.

c.              Air Mutanajis
Air mutanajjis artinya adalah air yang tercampur dengan barang atau benda yang najis. Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga atau bisa juga sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Keduanya tergantung dari apakah air itu mengalami perubahan atau tidak, setelah tercampur
d.              Air Musakhkhan Musyammasy
Air musakhkhan (مسخن) artinya adalah air yang dipanaskan. Sedangkan musyammas (مشمس) diambil dari kata syams yang artinya matahari. atsar dari shahabat Nabi SAW, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu, yang memakruhkan mandi dengan air yang dipanaskan oleh sinar matahari.
أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ الإِغْتِسَالَ باِلمَاءِ المُشَمَّس
Artinya:
“Bahwa beliau memakruhkan mandi dengan menggunakan air musyammas (HR. Asy-Syafi'i)
e.              Air Musakhkhan Ghairu Musyammasy
Musakhkhan ghairu musyammasy artinya adalah air yang menjadi panas tapi tidak karena terkena sinar matahari langsung. Namun bila air itu bersuhu sangat tinggi sehingga sulit untuk menyempurnakan wudhu dengan betul-betul meratakan anggota wudhu dan air secara benar-benar (isbagh), hukumnya menjadi makruh, bukan karena panasnya tetapi karena tidak bisa isbag.[6]

Adapun telah menyebut empat rukun fardhu wudhu yaitu membasuh muka, membasuh kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ ٦
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepadam dan basuh kedua kakimu sampai kedua mata kaki (Al-Maidah :6)
Jumhur ulama Fuqaha selain ulama mazhab Hanafi telah menambahkan fardhu wudhu berdasarkan dalil-dalil dari Ash-Sunnah yang mereka sepakati adalah fardhu niat wudhu. Ulama mazhab Maliki dan Hambali mewajibkan  muwalah (berturut-turut) di antara rukun-rukun wudhu. Hal ini juga sama dengan yang di ungkapkan oleh ulama mazhab syafi’i dan hambali. Selain itu, ulama mazhab Maliki mewajibkan menggosokkan anggota wudhu ketika merata air.
Oleh sebab rukun wudhu di bedakan menjadi empat, hal ini menurut:
a.              Mazhab Hanafi

1.    Membasuh muka, sebagaimana di sebutkan dalam firman Allah SWT.

فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُم  
Artinya:
“maka basuhlah wajahmu” (Al-Maidah:6)
2.    Membasuh kedua tangan  hingga siku dengan sekali basuh. jadi rukun ini juga berdasarkan surat Al-maidah Ayat 6 yang artinya “Maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai kesiku”
3.    Mengusap kepala. hal ini sesuai dengan firman Allah
“ dan usaplah kepalamu” (Q.S Al- Maidah:6)
Di samping itu, Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah Hadist, “sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah mengusap ubun-ubun dan serbannya”.
4.    Membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

Artinya:
“dan basuh kedua kakimu sampai kedua mata kaki” (Surat Al- Maidah: 6)
b.      Mazhab Maliki
Menurut ulama Maliki rukun wudhu itu ada tujuh dan hal keempat bagian diatas ada di dalamnya, kemudian imam Maliki menambah tiga rukun lagi yaitu niat, menggosok anggota badan hingga merata dan muwalah (berturut-turut).
c.       Mazhab Syafi’i
Rukun wudhu menjadi enam sebagaimana empat rukun yang di atas ada di dalamnya tetapi beliau menambah adanya dua hal dalam rukun wudhu yaitu niat dan tertib.
d.      Mazhab Hambali
Rukun wudhu ada yang empat di atas sudah ada di dalamnya akan tetapi  beliau sepakat dengan imam Maliki bahwa di dalamnya mewajibkan muwalah. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW :
“Di riwayatkanbahwa Nabi Muhammad SAW melihat seoranglaki-laki sedang mengerjakan shalat. Di kedua kakinya terdapat satu tempat di lebarnya satu dirham yang tidak terkena air. Maka Rasul menyuruh dia mengulangi wudhu dan shalatnya. Jika tindakan berturut-turut(muwalah) tidak wajib, niscaya ia cukup dengan membasuh bagian tersebut saja”.[7]

b.             Perbedaan Pendapat Imam Mazhab tentang bersuci dari Hadas dan Najis
Mengenai bahan-bahan yang di gunakan untuk bersuci dari najis, kita mengetahui bahwa Air yang bersih merupakan bahan asal yang di gunakan untuk membersihkan najis. Namun di kalangan mazhab Hanafi mengatakan bahwa najis haqiqi dapat di bersihkan dengan selain air biasa seperti air mawar, cuka air, buah-buahan, dan juga air tanaman dan berbagai macam pembersih lainnya yang di sepakati oleh ulama yang lainnya.
Adapun cara membersihkan najis dengan air ataupun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
a.             Dari segi bilangan
Ulama mazhab hanafi mensyaratkan kadar bilangan tertentu untuk membersihkan najis yang tidak dapat di lihat oleh matanormal yaitu sebanyak tiga kali basuhan. Oleh sebab itu, mereka berkata, “ jika najis itu dari jenis yang tidak dapat di lihat oleh mata normal seperti air kencing, bekas air liur anjing dan lain-lain, maka cara membersihkannya ialah dengan membasuhnya hingga menjadi bersih mengikuti keyakinan pembasuhnya. Ia tidak akan bersih kecuali dengan tiga kali basuhan “. Mereka menetapkan bilangan tiga kali ini meskipun dalam masalah najis anjing karena keyakinan tentang bersihnya suatu tempat akan muncul pada diri seseorang dengan bilangan itu. lalu , ia di jadikannya sebagai suatu indikasi untuk membuktikan bersihnya tempat terkena najis. Langkah ini di ambil untuk memudahkan (Taisir). Hal ini berdasarkan dua hadis Rasulullah yaitu “Wadah yang di jilat anjing hendaklah di basuh sbanyak tiga kali”. 
Kemudian hadis yang kedua Rasulullah bersabda “ apabila seseorang di antara kamu bangun dari tidurnya hendaklah ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali sebelum ia memasukkannya kedalam benjana.
Sedangkan menurut Mazhab maliki berpendapat bahwa untuk membersihkan najis tidaklah cukup hanya dengan mengalirkan air saja. Najis dan luka bekasnya haruslah di hilangkan terlebih dahulu hingga air yang berpisah dari tempat yang di bersihkan itu menjadi bersih dan rasa najis itu itu hilang sama sekali.  Begitu juga dengan warna dan baunya juga harus hilang, jika memang mudah untuk menghilangkan keduanya. Tetapi tidak mengapa jjika masih terdapat warna ataupun bau yang memang sukar di hilangkan. Adapun untuk membasuh najis tidak di isyaratkan kadar bialangan basuhan tertentu karena di pahami dari perintah menghilangkan najislah menghilangkan zatnya. Adapun bilangan tujuh kali yang di isyarahkan untuk membasuh bekas jilatan anjing adalah bertujuan untuk ibadah, bukannya karena najis itu.
Menurut ulama Mahab Syafi’i dan hambali, apa saja yang menjadi muntanajis karena bersentuhan dengan sedikit (air liur, air kencing, dan semua bagian yang basah, dan juga bagian-bagian kering apabila bersentuh dengan seseuatu yang basah ) dari badan Anjing, Babi , anak campuran antara keduanya yang kawin dengan binatang lain yang suci , hendaklah tempat atau bagian terkena najis itu di basuh sebanyak tujuh kali. Salah satunya adalah dengan air yang di campur dengan debu yang bersih meskipun debu pasir. Karena Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya “ Wadah yang di jilat anjing hendaklah di basuh sebanyak tujuh kali, dan hendaklah basuhan pertamanya ataupun terakhirnya dengan menggunakan air bercampur dengan tanah”.
Dalam hadis  riwayat lain, Abdullah Ibnul Mughafal, Rasulullah SAW, bersabda:
“Apabila seekor Anjing menjilat sesuatu wadah , maka hendaklah kamu membasuhnya sebanayak tujuh kali. Bilasan yang kedelapan kalinya dengan air yang bercampur tanah”.
Di samping itu, menurut pendapat yang Azhar dari kalangan ulama mazhab Syafi’i adalah tanah merupakan satu-satunya bahan yang harus di gunakan. Oleh sebap itu, tidak cukup menggunakan bahan lainnya seperti garam dan sabun. Sedangkan merurut mazhab Hambali  serbuk garam, sabun, dan sejenis bahan pembasuh lainnya juga dapat menghilangkan kotoran selain najis dapat di jadikan sebagai pengganti debu, meskipun debu mudah di dapat.  Tujuannya untuk menghindari dari kerusakan yang mungkin terjadi pada bahan yang di basuh.
Dan menurut mazhab Syafi’i tentang najis selain najis Anjing dan Babi, apabila najis tersebut dapat terdeteksi dengan salah satu pancaindara, maka wajib menghilanggkan zat, rasa, warna, dan juga baunya. Wajib juga menggunakan semisal sabun jika hal-hal itu tidak dapat di hapuskan kecualidengan menggunakan bahan itu. tetapi jika najis itu termasuk jenis yang tidak dapat di lihat, yaitu najis yang di yakini keberadaannya, namun tidak dapat di ketahui rasanya, warnanya dan juga baunya, maka untuk menghilangkannya cukup dengan Air keatasnya sekali saja, seperti air kencing yang sudah kering yang tidak akada bekasnya lagi.
b.             Mencurahkan atau menuangkan Air ke atas Najis
Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak di isyaratkan mencurahkan Air ataupun menuangkannya ketempat najis. Oleh sebab itu, pakaian yang terkena najis ataupun badan yang terkena najis dapat di bersihkan ke dalam wadah-wadah dengan cara mengganti air sebanyak tiga kali, dan basuhan itu hendaklah di perah setiap kali air di tukar. Wadah itu hendaklah di basuh sebanyak tiga kali sesudah basuhan pertama yang di gunakan untuk membasuh pakaian pada badan yang terkena najis , dan hendaklah wadah itu di basuh dua kali setelah basuhan yang kedua. Hendaklah wadah itu di basuh dua kali setelah basuhan yang ketiga. Ini jika basuhan itu di lakukan dalam satu wadah saja. Tetapi jika basuhan itu di lakukan dalam tiga wadah, maka setiap wadah hanya perlu di tukar airnyasekali saja.
Di samping itu, yang telah menjadi fatwa ulama mazhab hanafi adalah hampir sama dengan pendapat mazhab maliki yang mengatakan wajib di hilangkan zat najis yang akan di bersihkan. Sedangkan menurut ulama syafi’i, untuk membersihkan najis itu di isyarahkan mengalirkan air saja tanpa memerah. Yaitu, di syaratkan mengalirkan air ke atas tempat yang terkena najis , jika air itu sedikit agar air itu tidak mejadi najis terjatuh kedalamnnya. Oleh sebab itu, jika pakaian di masukkan kedalam suatu benjana basuhan dan di dalamnnyaterdapat darah yang di maafkan , lalu di curahkan air kedalam benjana itu, maka air itu akan menjadi najis karena bercampur dengan darah itu.
c.              Membersihkan Tanah Yang Terkena Najis Dengan Air Yang Banyak
Ulama Hanafi berpendapat jika tanah yang terkena najis itu keras dan curam, maka hendaklah di gali satu lubang di bawahnya, kemudian di curahkan air tiga kali keatasnya dan biarkan ia turun melewati lubang  itu.  hal ini berdasarkan kepada Hadis Riwayat Ad- Daruquthi dari anas tentang kisah orang Arab kampung yang kencing di dalam mesjid, “Hendaklah kamu menggali satu lubang di tempatnya, kemudian curahkan air keatasnya. Tanah tersebut tidak dapat di bersihkan dengan hanaya memperbanayak jumlah air.
Adapun menurut ulama mazhab selain mazhab Hanafi berkata, tanah yang terkena najis dapat di bersihkan denagan cara mencurahkan banayak banyak air keatasnaya, yaitu kadar yang dapat membanjiri ataupun denagan cara menuangkan air ke atasnya, hingga najis itu tenggelam.  Hal ini berdasarkan hadis riwayat Abu Hurairah, orang Arab kampung berdiri lalu kencing di dalam mesjid, kemudaian orang-orang berdiri hendak memukulnya, lantas Rasulullah SAW bersabda, ayang Artinya ”Biarkan dia, dan cuarahkan setimba air ke atasair kencingnya. Sesungguhnya kamu telah diutuskan sebagai orang yang menyenangkan, dan bukan menyusahkan.”
Di samping itu, Ulama mazhab Syafi’i telah menguraikan dengan terperinci tentang cara membersihkan airyang terkena najis dengan cara menambahkan jumlah air yang banyak antara lain:
Ø Jika najis itu menyebapkan terjadinya perubahan dan jumlah air  itu melebihi dua kulah, maka ia di hukumi bersih jika perubahan yang terjadi hilang dengan sendirinya, dengan menambahkan air lain kepadanya , ataupun dengan membuang sebagiannya. Karena,najis yang ada di sebabkan perubahan dan perubahan itu telah hilang.
Ø Jika najis itu di jatuh di air yang tidak ada dua kulah, maka ia akan menjadi bersih denagan cara di tambah air lain keadaannya, sehingga kadarnya mencapai dua kulah baik air itu di perbanyak dengan air bersih air muntanajjis, dan baik kadar air yang di tambah itu banyak atau sdikit. Ia akan menjadi bersih dengan memperbanyak kadar air itu, meskipun ia tidak mencapai kadar dua kulah. Sama seperti bumi atau tanah yang terkena najis apabila di tuangi air hingga tanah itu tenggelam dengan air, karena air itu menutupi najis tersebut.[8]


E.            Larangan berfanatik Terhadap Salah Satu Imam Mazhab
Fanatik atau dalam bahasa arabnya disebut dengan “Ta’ashub” adalah anggapan yang diiringi sikap yang paling benar dan membelanya dengan membabi buta. Fanatik ini bisa terjadi antar madzhab, kelompok, organisasi, suku atau negara. Sedangkan, kata madzhab secara bahsa(مذهب) merupakan kata bentukan dari kata dasardzahaba (ذهب) yang artinya pergi. Madzhab adalah bentuk isim makan dan juga bisa menjadi isim zaman dari kata tersebut, sehingga bermakna yaitu  Jalan atau tempat untuk pergi, atau waktu untuk pergi.
Ahmad ash-Shawi al-Maliki menyebutkan bahwa makna etimologis dari madzhab yaitu tempat untuk pergi, seperti jalanan secara fisik. Adapun makna madzhab secara istilah yang digunakan dalam ilmu fiqih, Pendapat yang diambil oleh seorang imam dari para imam dalam masalah yang terkait dengan hukum-hukum ijtihadiyah. Pendapat yang diambil oleh seorang imam ini kemudian diikuti oleh muridnya dari generasi ke generasi, inilah yang kemudian dikenal sebagai madzhab fiqih.
Jadi dengan demikian dapat di pahami Fanatik Mazhab adalah anggapan yang di iringi dengan sikap yang paling benar dan membela suatu pendapat seorang imam yang terkait dengan hukum-hukum ijtihad. beberapa ulama yang tidak ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari ulama Hanafiyah, bahkan ada yang berani mengatakan,”Setiap ayat yang bertentangan dengan pendapat mazhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau dihapuskan,” termasuk juga hadis Nabi. Inilah bentuk pemikiran yang tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan , yang kemudian menutup mata mereka dari Ijtihad.[9]











BAB III
PENUTUP
A.            Kesimpulan
Hadas yaitu keadaan  diri pada seseorang muslim yang menyebabkan  ia tidak suci, dan tidak sah untuk  mengerjakan sholat. Hadas digolongkan menjadi 2  bagian , yaitu hadas  kecil dan hadas besar. cara bersuci dari hadas kecil  dengan berwudhu dan cara menghilngkan hadas besar dengan mandi wajib. Sedangkan Najis Menurut bahasa berarti kotor, tidak bersih atau  tidak suci. Sedangkan menurut istilah  adalah  kotoran yang  seseorang muslim  wajib membersihkan  diri dan mencuci apa-apa yang terkena najis. Beberapa Najis menurut Ulama Mazhab antara lain yaitu Khamr, Bangkai, Anjing dan Babi, Air Kencing Bayi dan sebagainya.
Adapun Fanatik Mazhab adalah anggapan yang di iringi dengan sikap yang paling benar dan membela suatu pendapat seorang imam yang terkait dengan hukum-hukum ijtihad.










DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, Abu Fattah Idris Fikih islam, 2004, Jakarta: PT Pusaka Cipta.
Afnan Maftuh,  2008 Risalah Fiqih Wanita, Surabaya: Terbit Terang
Hafsah. 2013.  Pembelajaran Fiqih. Bandung: Citapustaka Media.
 Hasan, M. Ali. 1997. Perbandingan Mazhab Fiqih. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Muji Mulia, dan Muliadi Kurdi, 2005 Problematika Fiqih Modern, Banda Aceh: Yayasan Pena
Sulaiman Rasjid. 2011. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Wahbah Az-Zuhaili. 2010. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani.





[1] .Abu Fattah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih islam, (Jakarta: PT Pusaka Cipta, 2004). Hal. 29-                    30
[2] . Hafsah, Pembelajaran Fiqih, (Bandung: Citapustaka Media, 2013). Hal. 91-92
[3] . Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2010). Hal. 250-                   251
            [4] . Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,2011). Hal. 16-20
[5] . Maftuh Afnan, Risalah Fiqih Wanita, ( Surabaya: Terbit Terang, 2008). Hal. 25
[6] . Abu Fattah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih islam..., Hal 3-6
[7] . Muliadi Kurdi Dan Muji Mulia, Problematika Fiqih Modern, (Banda Aceh: Yayasan Pena,                  2005). Hal.  99-104
            [8] . Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam...,Hal 273-279
[9] . Hasan Dan M. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, ( Jakarta : PT  Raja Grafindo Persada, 1997). Hal 51-53

Komentar

Postingan populer dari blog ini